TAIKO

hai hai :)

Lativi pagi ini sedang memutar episode sponge-bob yang punya peliharaan seekor kuda. Kuda laut tentunya, yang di”parkir” di samping crusty-crab :) Tapi topik tulisan kali ini bukan tentang itu. Semalam saya telah mengumumkan ke yayang tercinta, bahwa setelah hampir 2 minggu saya berhasil merampungkan membaca sebuah buku yang berjudul ‘TAIKO‘.

Lha ?

Novel setebal 1142 halaman ini adalah karangan Eiji Yoshikawa. Kalo kamu pernah baca buku lain karangan Eiji-san seperti Miyamoto Musashi, tentu kamu sudah bisa menebak cerita seperti apa yang disajikan di TAIKO.

TAIKO (judul aslinya Shinso Taikoki) mengisahkan tentang kehidupan Jepang di sekitar abad ke-16 yang penuh dengan perang dan perebutan kekuasaan antar marga. Dan pada masa itu, sejarah Jepang mencatat 3 nama pria yang dianggap sebagai pembawa angin perubahan Jepang. 3 pria yang sama-sama bercita-cita untuk menguasai dan mepersatukan Jepang, tapi masing-masing mempunyai sifat yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan sifat ketiga orang tersebut diabadikan Jepang ke dalam sebuah sajak, yaitu….

Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau ?

Nobunaga menjawab, “Bunuh saja!”
Hideyoshi menjawab, “Buat burung itu INGIN bicara”
Ieyasu menjawab, “Tunggu!”

Itulah mereka.
Oda Nobunaga, tegas namun gegabah dan brutal.
Toyotomi Hideyoshi, sederhana, cenderung low profile, halus, cerdik dan lumayan complicated. Doyan main perempuan.
Tokugawa Ieyasu, tenang dan penuh perhitungan.

Di abad ke-16, keruntuhan pemerintahan keshogunan Ashikaga menimbulkan kekacauan besar di Jepang. Masa-masa itu adalah masa penuh perang sipil yang brutal. Nyaris tiada hari tanpa perang. Jepang pun kemudian terpecah-pecah wilayahnya. Para Daimyo saling berperang untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan cara mencaplok daerah milik Daimyo lainnya. Di novel terjemahan ini diistilahkan sebagai “marga”. Ada marga Oda, Tokugawa, Shibata, Ikeda, Asai, Mori, Imagawa de le le. Baca ndiri deh :)

Dimulai dari sebuah provinsi kecil Owari, jaman baru Jepang dimulai. Oda Nobunaga bersama dengan pengikutnya, Hideyoshi “Si Monyet” mengisi 7 dari 10 buku rangkaian novel ini :) Hideyoshi bertemu dengan Nobunaga waktu berumur 17 tahun, dia diangkat sebagai pembawa sendal yang Daimyo. Karena pengabdiannya yang all-out serta kemampuannya yang hebat, karirnya menanjak. Dari pembawa sendal menjadi pengawas persediaan kayu bakar, pengawas dapur, pemimpin korps tombak dgn 30 prajurit hingga akhirnya menjadi jendal andalan Nobunaga. Dan tentunya setelah wafatnya Nobunaga karena pengkhianatan Akechi Mitsuhide, dia yang meneruskan cita-cita Nobunaga mempersatukan Jepang dan mendapat gelar TAIKO. Penguasa mutlak.

Seperti buku Eiji yang lain, Miyamoto Mushashi, Taiko dipenuhi dengan darah. Kata-kata “memenggal kepala”, “membelah perut” saat melakukan seppuku (kita mungkin salah kaprah dengan ungkapan yang selama ini kita kenal sebagai ‘harakiri’) akan sering kita temukan. Tapi menurut saya, isi Musashi jauh lebih “sadis”. Ga usah dibahas di sini. Selain itu, buku ini juga banyak mengulas sisi apa yah … feminim ? Huehuehueue, Pokoknya para tentara Jepang dilukiskan sebagai orang-orang tegar yang begitu mudah meluapkan emosinya (marah, sedih, gembira dll) dengan menangis. Di buku ini, 99% kata “menangis” related dengan pria, dalam hal ini para prajurit, para samurai (samurai bukan sebutan untuk pedang, salah kaprah lagi ^_^).

Fokus cerita Taiko lebih banyak soal pertempuran, peperangan. Ga heran mengingat kondisi jaman waktu itu. Tapi selain perang fisik, taktik dan siasat diplomasi yang selalu dinomor satukan oleh Hideyoshi juga mendapat porsi tersendiri. Selain tentunya juga tak ketinggalan mengetengahkan tentang Jalan Samurai. Kadang saya ndiri masih heran, begitu hebatkah rasa hormat, kesetiaan mulai kasta terendah hingga penguasa sehingga rela mengobral nyawa mereka (benar-benar diobral dengan sangat murah sekali banget gitu loh), atau sebegitu bodohnya mereka sehingga tidak mau memakai cara lain untuk menunjukkan rasa hormat dan kesetiaan tadi selain dengan menjemput maut ? Tapi yang menakjubkan (diluar masalah obral nyawa tadi) adalah bagaimana para pengikut Jalan Samurai itu menerapkannya dalam kehidupan mereka, khususnya dalam menepati janji dan rasa malu bahkan kepada musuh sekalipun. Mereka rela melakukan seppuku jika lalai atau gagal dalam menjalankan tugas atau mengkhianati janji. Kalo pejabat negeri kita yang terhormat ? Hehehehe, boro-boro seppuku, ngaku ajah kagak.

Yang agak menggelitik saya adalah soal Oda Nobunaga. Entah Eiji-san itu pengagum Nobunaga atau ingin sedikit lakukan justifikasi akan tindakan penguasa Owari itu, yang jelas ada perbedaan jauh pada tindak tanduk Nobunaga. Di sumber-sumber sejarah lain disebutkan bahwa Nobunaga adalah Oni, Sang Iblis, karena kebrutalannya (sudah disebut di paragraf2 awal ^_^). Namun di buku ini, kebrutalannya itu sepertinya disamarkan. Sifatnya malah … cenderung “agak” jauh dari konotasi kata brutal itu sendiri. Bahkan saat pembakaran Gunung Heie sekalipun, kesan brutal itu tidak begitu terasa. Saking bruta

This book is definitely worth reading, bacaan yang berbobot (dibanding jika saya harus baca bacaan2 berbau chiklit :P) Seperti halnya Mushashi (kalo pernah baca), kita seakan-akan ke Jepang abad pertengahan. Imajinasi kita membuat kita seperti berada langsung dalam keganasan masa itu. It’s close enough to the historical reality, and yet fictionalized enough to give readers a taste of the spirit of the times. Timeline-nya Michael Crichton-pun serasa kurang menggigit jadinya.

Buat yang nonton film Azumi 1 & 2 (Azumi kawaii ^_^) nama Hideyoshi dan Tokugawa di sebut-sebut di sana. Trus buat yang punya film KAGEMUSHA-nya Akira Kurosawa (ntuh, nyang bikin Seven Samurai) bisa diputar ulang. KAGEMUSHA (kage = bayangan) adalah replicate, duplicate .. semacamnya lah. Kebetulan saya punya filmnya jadi semalam nonton ulang. Baru ngeh kalo cerita film tersebut mengisahkan tentang marga Takeda yang berusaha menyembunyikan kematian pemimpinnya, Takeda Shingen, penguasa provisin Kai, dengan menempatkan seorang kagemusha supaya para prajurit tidak hancur semangatnya. Baca Taiko bagian ke-4 “Pemakaman bagi mereka yang hidup”, bagian ke-5 “Keruntuhan Kai”.

Yang doyan anime, bisa nonton Samurai Deeper Kyo (Nobunaga dilukiskan sebagai iblis/siluman di sana). Kalo Samurai X ? Bukan bukan. Samurai X (Himura Kenshin) tuh setting ceritanya jauh di akhir abad 19. Kira-kira akhir akhir tahun 1890an saat Jepang tengah beralih dari jaman pemerintahan Bakufu yang dimulai tahun 1600 (Ieyasu adalah shogun pertamanya, penguasa de facto Jepang setelah memenangkan perang di Sekigahara. Hideyoshi meninggal tahun 1598) ke restorasi Meiji, Jepang modern. Liat ajah tuh gaya pakaian Saito Hajime dan anak buahnya :D

Nobunaga di wikipedia
Hideyoshi di wikipedia
Ieyasu di wikipedia