Selamat jalan, Cak Munir

Seorang Arema yang berprestasi, terutama di bidang kemanusiaan telah pergi untuk selamanya. Seorang tokoh muda yang tegar dan bernyali besar melebihi besar tubuhnya sendiri. Seorang yang teguh mempertahankan komitmen dan idealismenya untuk memperjuangkan masyarakat sipil. Selama ini, Munir yang menjadi ikon dari pejuang demokrasi, kerap bersuara kritis terhadap penindasan, kekerasan negara dan ketidakadilan melalui LSM Kontras dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).

Derita yang dia hadapi, teror, intimidasi, ancaman pembunuhan dan lain sebagainya adalah bagian hidup dia dan keluarganya sebagai konsekuensi keteguhannya menjadi pejuang hak asasi manusia di negeri yang nyaris hancur ini. Buah perjuangan Munir salah satunya adalah reformasi di negara ini. Yah mungkin kata reformasi itu masih jadi bahan cibiran orang karena emang belum seperti gambaran para mahasiswa waktu menduduki gedung MPR dan melengserkan orang gede saat itu. Tapi kita ga bisa ingkar akan kebebasan bicara dan mulai menipisnya peran militer dalam kekuasaan negara. Paling ngga ia bukan penguasa absolut lagi di negeri ini. Terungkapnya kasus Marsinah di Jawa Timur pada awal 90’an lalu juga salah satu hasil kerja kerasnya.

Orang baik dan menjadi yang terbaik di bidangnya seringkali dipanggil terlebih dahulu oleh Sang Khalik semisal Baharudin Lopa

Selamat jalan, Cak Munir.

Human rights in the sense of human solidarity has created a new universal and equal language going beyond racial, gender, ethnic or religious boundaries. That is why we consider it a doorway to dialogue for people of all socio-cultural groups and all ideologies.” – Munir, The Livelihood Award 2000