2000km – Journey To The East

Kampung Alastuwo

27-07-2010

Hampir 2000 kilometer
120 jam
6 hari
5 malam

Itu jarak dan waktu tempuh perjalanan yang aku lakukan minggu kemarin. Dari bagian barat pulau Jawa menuju ke sisi timur dan kemudian kembali ke barat lagi. Baru kali ini menyetir mobil sejauh itu hampir sepanjang waktu.

Journey to The East
Ini bukan novel dari Jerman, tapi memang perjalanan awal yang saya lakukan ke arah timur pulau Jawa dengan starting point Bintaro, Tangerang Selatan.

Kenapa?
Manusia berencana, tapi Allah lah yang menentukan segalanya.
Sebelumnya saya sudah mengajukan cuti ke kantor tanggal 30 Juli – 3 Agustus 2010. Agendanya adalah menghadiri resepsi pernikahan Jeng Ina – Mahen di Malang. Kebetulan sekali karena lokasi resepsi cuman sekoprolan saja dari rumah orang tua, jadi bisa sekalian mudik. Ketemu keluarga di Malang.

Request cuti telah dibuat, tinggal nunggu notifikasi approval dari Pak Bos. Hari Senin sewaktu otw ke kantor, ada telpon dari rumah Malang. Yuli adikku sambil nangis ngasih tahu kalau nenek yang dah beberapa bulan ini di Malang baru saja wafat.

*Deg*

Cuman bisa istighfar, mengucap inna lillahi wa inna ilaihi raji’un sambil menenangkan adik yang masih menangis shock dan kebingungan di seberang sana. Saya rasanya mau menjerit saat itu tapi entah kenapa kok selama menjawab telpon rasanya malah datar saja. Saya cuti pingin sekalian ketemu nenek. Sejak meninggalkan Malang sekitar tahun 1997 lalu, saya dah nyaris ga pernah mengunjungi beliau lagi di Magetan. Yang saya bisa ingat sejak tahun 2000an kayanya ga pernah menyempatkan diri ke Magetan lagi kalau mudik lebaran. Ngambil cuti lebaran selalu mepet. Sehingga sewaktu keluarga ke Magetan, saya balik lagi ke Jakarta buat mulai kerja lagi.

Terakhir saya hanya mendengar suara beliau via telpon beberapa minggu sebelumnya. Sebelumnya nenek tetap tinggal di Magetan dirawat paman-bibi dan keluarga di sana. Tapi karena paman-bibi saat ini harus ke Tangerang merawat cucu barunya, nenek dibawa ke Malang saja.

Setelah menanyakan kebutuhan apa saja untuk pemakaman dll, saya akan cover semua dan segera mungkin nyusul pulang, adik bisa sedikit lebih tenang. Setelah menerima telpon saya cuman bisa diam, dan kemudian nangis di taksi. BBM ke salah seorang sahabat di kantor soal ini n nanya Pak Bos ada ga supaya saya bisa minta relokasi tanggal cuti. Sopir taksi yang baik sempat memberikan beberapa kalimat dukungan dan tabah. Lalu lintas Jakarta yang semakin amburadul make it worse.

Paman dan sepupu menelpon nanya kapan saya balik ke Malang/Magetan. Saya bilang sesegera mungkin asal cuti saya di approve dulu. Urusan kantor hari itu banyak pula yang harus di selesaikan. Sore akhirnya bisa komunikasi dengan Pak Bos dan beliau mengijinkan.

Next cari akomodasi ke Magetan karena nenek akan dimakamkan di sana. Rute terdekat mestinya dari Solo. Tapi flight ke Solo ga banyak n ndilalah hari itu kok ya full book. Bah kalut, akhirnya nekat deh nyetir ajah dari Jakarta.

Kontak Rara minta tolong untuk nemenin ke Magetan. Sekalian buat gantian nyetir. Dalam kondisi seperti ini sepertinya bakal nambah masalah ajah jika saya nyetir sendiri. Tapi karena kondisi badan yang emang dah kecapekan kerja plus kondisi mental yang lagi berduka kaya gini plus lagi Rara kan juga baru balik kerja jadi diputuskan berangkatnya Selasa saja.

Info dari seorang rekan jalur pantura khususnya Indramayu – Cirebon sedang banyak perbaikan jalan, disarankan lewat Subang saja. Juni kemarin sempat ke Solo via pantura, jalannya emang hancur dan banyak proyek perbaikan jalan sedang berlangsung di sisi satunya. Berbekal Nokia E71 + Google Maps jadilah kami menyusuri Subang. End pointnya nanti sama-sama di Tol Palimanan – Kanci yang akan lanjut ke tol Bakrie Kanci – Pejagan.

Pantat Rush Penyok
Pantat Rush Penyok

Peristiwa ga enak pertama terjadi. Setelah istirahat dan makan, saya mendapati sudut kanan belakang Rush item saya penyok. Ini pasti ulah pengemudi goblok tertato di jidatnya yang ga bisa bawa mobil dengan benar. Dugaan sih disikat mobil sejenis mpv dengan roll-bar terpasang atau jenis mini truck yang maksa parkir di sisi kanan yang sempit. Bah!

Dari tol cikampek, saya memilih ke cipularang exit di Sadang. Tapi apa  daya, ternyata jalur Subang selain sempit malah sedang hot-hotnya perbaikan di banyak titik termasuk pengecoran jalan. Hardcore banget deh kondisinya. Di sini gunanya ada navigator. Selain bantuin mantau rute juga buat ngingetin supaya ati-ati nyetir. There’s no point doing speed racer thing in this route.

Lepas Subang, masuk ke Palimanan – Kanci saya dah hapal jalan. Rute Subang membuat itung-itungan waktu tempuh saya molor 2 jam lebih. Di sini baru deh speeding. Entah kenapa mulai sebelum Alas Roban sampai Solo sepi sekali saat itu. Jam 3 kurang dah sampai Solo. Hitungannya butuh 2 jam lebih dikit dari Solo ke Magetan. Bisa di bawah itu waktu tempuhnya kalau via Tawangmangu. Tapi itu namanya cari perkara. Selain lom pernah melewati rute tersebut, Tawangmangu berarti berhadapan dengan tanjangan, tikungan tebing dan jurang. Cukup Juni kemarin saya lewat rute tersebut saat iseng mencoba jalur selatan dari Yogya ke Bandung.

Jam 4 lebih sedikit kami sudah memasuki Magetan via Karangrejo. Di sini saya mesti memaksa otak untuk mengeluarkan memori mengenai Magetan. Dusun nenek saya ada di balik perbukitan. Jadi saya semasa kecil nyaris ga pernah di ajak menjelajah sampai ujung kota seperti ini. Mengandalkan ingatan rute bis/travel yang biasa kami pakai jika mudik dari Malang ke Magetan. Patokannya ketemu alun-alun berarti dah aman.

Kampung Alastuwo
Kampung Alastuwo (BTS Assisted)

Alun-alun ketemu, selanjutnya adalah nyari entry point yang akan mengantarkan kami ke dusun Alas Tuwo, Desa Balegondo. Seingatku jalan masuknya ada di belakang penjara karena kami dulu biasa jalan kaki dari dusun kalau ingin ke pasar kota atau ke alun-alun. Dan kejadian nyasar. Jalan kecil yang saya kita shotcut ternyata membawa kami ke gerbang sebuah SMP hehehehehe.

Kembali menyalakan Google Map untuk melihat peta blok daerah tersebut. Enaknya di Magetan dan juga Solo serta Semarang,  kotanya (paling tidak pusat kotanya) terbagi menjadi blok-blok kotak yang jelas. Jadi kita tidak akan merasa sedang berada di labirin seperti di Jakarta/Surabaya. Kami ternyata satu blok terlalu awal beloknya.

Malu bertanya, sesat di jalan. Kebetulan dah mulai nampak orang beraktivitas baik itu jalan-jalan/jogin menjelang subuh atau bersiap=siap ke pasar. Entry point pun ketemu dan kepala saya serasa semakin dibanjiri kenangan-kenangan masa kecil dulu. Turunan 45 derajat (sepertinya malah lebih dikit) jalannya sudah di aspal sampai ke ujung. Masjid desa dan sekolah SD di sampingnya masih seperti dulu. Dari sana kami masih harus turun lagi karena rumah nenek tinggal lurus saja, persis di ujung turunan kedua  sebelum ada turunan lagi.

Jam 5 pas kami sampai di samping rumah nenek. Masih seperti dulu, lebih ke belakang yang terbayang di mata saya yang dah mulai berair lagi adalah rumah nenek sebelum direnovasi. Khas Magetan/Madiun dengan bagian depan terdiri dari beberapa pintu dan jendela kayu. Ruang depan yang luas beralas tanah, ruang belakang yang baru berisi kamar, serta dapur di bagian samping.

Setelah di sambut ayah-ibu dan adik-adik, kamipun cuman bisa tergeletak tidur kecapekan.